Senin, 13 Juni 2011

Untuk yg tercinta

Ketika aku jatuh cinta

Senin, 29 November 2010

” Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan Berbasis Agama"

Media massa, beberapa waktu terakhir terus gencar memberitakan peristiwa pembabatan hutan secara liar di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Papua. Tak hanya hutan produksi yang ditebang habis, tetapi juga hutan lindung yang difungsikan sebagai penjaga keseimbangan lingkungan. Tak heran, kondisi ketahanan alam yang bersendikan lingkungan hidup makin hari makin rapuh. Akibatnya mulai tampak: banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, polusi udara terus berlangsung. Penyakit demi penyakit yang diakibatkan oleh terganggunya kelestarian alam mulai menimpa ketentraman hidup manusia.
Pada saat yang sama, kesadaran manusia akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup semakin sulit diharapkan. Hal itu nampak dari sikap manusia terhadap alam lingkungannya yang lebih di dorong oleh semangat eksploitasi.Melalui berbagai teknologi, manusia secara membabi buta mengambil segala sesuatu dari alam tanpa mempertimbangkan dampak-dampak ekologisnya.
Keserakahan manusia terhadap alam ini akan berdampak serius pada kehidupan umat manusia itu sendiri. Bumi akan membusuk dan manusia akan terlumat olehnya. Kegersangan akibat pembabatan hutan, dan kepengapan udara akibat pembakaran hutan dan cerobong pabrik akan menyergap kehidupan manusia di masa mendatang.
Banyak kelompok masyarakat yang gemas, bagaimana menyikapi fenomena perusakan alam ini. Banyak pihak mulai memikirkan alternatif bagi penyelamatan lingkungan. Salah satunya dengan agama. Agama sebagai pemberi pesan damai, baik kepada manusia maupun kepada alam, sudah semestinya turut memberi jalan keluar bagi kelestarian lingkungan alam. Agama harus menyampaikan pesannya kepada manusia bahwa alam juga punya hak untuk hidup nyaman tanpa terganggu polusi yang menyesakkan.
Hassan Hanafi, seorang pemikir muslim dari Mesir berpendapat, melihat lingkungan dari sudut pandang agama akan memungkinkan kita untuk menyelesaikan persoalan sumber-sumber alam dari akar yang sebenarnya, yakni sudut pandang kesadaran manusia. Sikap dan pandangan manusia sangat menentukan cara berhubungan dengan alam. Obyek yang hidup, seperti alam atau dunia, tidak akan ada atau berubah kecuali dalam pandangan si subyek. Namun perlu ditegaskan, setiap agama memiliki model yang beragam dalam hubungan mereka dengan alam, mulai dari sikap tidak menganggap penting dunia sampai dengan sangat mementingkan dunia. (Hassan Hanafi, 1995).
Agama dan Pendidikan Sadar Lingkungan.
Jika kita gali secara menyeluruh, Islam sebenarnya sangat mendukung gerakan pelestarian alam. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat-ayat dalam al-Quran yang -secara tersirat maupun tersurat—mengecam keras terhadap perusakan Alam dan lingkungan, semisal (QS.11:85/ QS.2:11-12/ QS.7:85/ QS.28:77/ QS.26:151-152. Bahkan dalam pandangan Islam alam memiliki peran lebih jauh, yaitu untuk mengetahui Tuhan. Ia dapat membawa manusia menuju Tuhan. Semua fenomena alam adalah tanda dari manifestasi Tuhan, dari Dia dan kembali kepada-Nya (QS. 2:164/QS.14:32/QS. 31: 20/ QS. 50:6-11/ QS.16;14). Sesungguhnya alam juga adalah hasil dari tindakan-Nya. Alam tak dapat dihancurkan tetapi justru harus dipelihara. Pemujaannya kepada Tuhan mensyaratkan pemujaannya kepada alam. Alam diciptakan untuk manusia, untuk hidupnya dan untuk kegembiraannya. Bukan dihancurkan dan jadi sumber bencana manusia.
Kekayaan agama akan kearifan lingkung-an ini dapat mendorong pemeluknya untuk setia melestarikan alam, karena hal itu dipandang sebagai tuntutan agama yang sifatnya suci. Namun nilai-nilai agama itu tak berarti jika tidak segera diwujudkan dalam bentuk pendidikan agama yang ramah lingkungan atau pendidikan lingkungan yang berbasis agama. Pendidikan (agama) dan kesadaran lingkungan memiliki kaitan yang cukup erat dalam memberi jalan keluar bagi krisis lingkungan. Jika pendidikan berkait dengan fungsi intelektualnya (tafakkur), maka agama berkait dengan fungsi kesadaran etisnya (tadabbur).
Oleh sebab itu, pendidikan agama ber-wawasan lingkungan, atau pendidikan lingkungan berbasis agama cukup mendesak untuk segera diwujudkan dengan alasan; Pertama, persoalan lingkungan bukan semata-mata persoalan teknis pengelolaan, tetapi juga, menurut Sony Keraf, pakar lignkungan, terkait erat dengan moral. Agama sebagai salah satu sumber yang kaya akan moralitas, sudah seharusnya turut pro-aktif memberi sumbangan yang positif dalam masalah krisis lingkungan.
Kedua, agama saat ini menjadi satu-satunya tumpuan harapan yang patut kita pertimbangkan dalam mengatasi krisis ling-kungan hidup, karena ilmu-pengetahuan dan teknologi yang semula diharapkan dapat me-ngangkat kedudukan alam dan manusia da-lam posisi yang ber-martabat, malah men-jadi faktor utama dalam serangkaian krisis lingkungan. Melalui penggunaan ilmu pengetahuan yang in-tensif, manusia telah mengembangkan kekuatan dahsyat yang menggiring kehidupan ke dalam pusaran bencana. Tingkat dominasi manusia terhadap alam dan kemampuan mereka mengubah lingkungannya telah membawa konsekwensi yang tidak ringan pada keberlanjutan kehidupan di masa mendatang.
Ketiga, agama, khususnya di Indonesia, mendapat tempat yang sangat mulia dalam sistem kesadaran manusia. Manusia adalah makhluk agama (Homo Religius) yang selalu membutuhkan sesuatu yang bersifat transenden. Karenanya, banyak tindakan manusia -baik maupun buruk- ditentukan oleh pandangannya terhadap agama. Jika pandangan hidup yang didasarkan pada norma-norma agama ini di warnai dengan pesan-pesan kearifan ekologis dari agama, bukan mus-tahil manusia akan ber-usaha menghargai alam sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Sehingga, kewajiban melestarikan alam, sa-ma kuatnya dengan sejumlah kewajiban lain-nya dalam agama. Pengabaian kewajiban ini sama berdosanya dengan pengabaian ke-wajiban lainnya dalam agama.
Akhirnya, terhadap fenomena perusakan alam agama seharusnya tidak sekedar berhenti pada sekumpulan ibadah ritual, melainkan perlu memberi jawaban yang konkrit dan me-nyeluruh. Karenanya, penggalian terhadap pesan-pesan ekologis agama untuk kemudian dijadikan landasan teologis dalam proses pendidikan yang berwawasan lingkungan adalah sebuah agenda mendesak yang perlu segera dilakukan.

Minggu, 28 November 2010

Nasional Jawa Timur SBY: Hentikan Tambang Perusak Lingkungan "Saya atas nama rakyat, berhentilah melakukan kegiatan tidak bertanggung jawab itu."

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa kini bukan lagi saatnya untuk berbicara mengenai lingkungan. Tapi sudah harus melakukan aksi dan tindakan nyata, dari hal kecil seperti menanam pohon.

Hal ini dikatakan SBY dalam sambutannya dalam peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, 28 November 2010.

"Ini saatnya bertindak, bukan lagi berbicara tentang pentingnya menanam. It's time to act, from commitment to action," kata SBY.

Menurut SBY, tindakan pelestarian lingkungan diperlukan Indonesia agar cuaca tidak terus memburuk akibat perubahan iklim. Apalagi Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap bencana alam.

Presiden SBY mengecam tindakan perusakan lingkungan. Terutama perusakan yang dilakukan oleh mereka yang ingin mencari keuntungan, seperti perusahaan pertambangan.

"Mereka yang tidak bertanggung jawab, yang kegemarannya merusak hutan dan lingkungan. Kemudian membabat pohon untuk motif pribadi, karena kepentingan industri pertambangan yang tidak dikelola dengan baik," ucap SBY.

"Saya atas nama rakyat, berhentilah melakukan kegiatan tidak bertanggung jawab itu. Harus memiliki hati," lanjutnya.

Pelestarian lingkungan seperti menanam pohon, kata SBY harus dilakukan sekarang walau hasilnya baru bisa dinikmati di masa mendatang. "Menanam pohon seperti menanam kebajikan, yang menikmati anak-cucu kita," ujar SBY.

Jumat, 26 November 2010

Kesehatan Lingkungan

PDF Print E-mail
Written by Administrator

Untuk menilai keadaan lingkungan dan upaya yang dilakukan untuk menciptakan lingkungan sehat telah dipilih empat indikator, yaitu persentase keluarga yang memiliki akses air bersih, presentase rumah sehat, keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar, Tempat Umum dan Pengolahan Makanan (TUPM) .

Beberapa upaya untuk memperkecil resiko turunnya kualitas lingkungan telah dilaksanakan oleh berbagai instansi terkait seperti pembangunan sarana sanitasi dasar, pemantauan dan penataan lingkungan, pengukuran dan pengendalian kualitas lingkungan.

Pembangunan sarana sanitasi dasar bagi masyarakat yang berkaitan langsung dengan masalah kesehatan meliputi penyediaan air bersih, jamban sehat, perumahan sehat yang biasanya ditangani secara lintas sektor. Sedangkan dijajaran Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang kegiatan yang dilaksanakan meliputi pemantauan kualitas air minum, pemantauan sanitasi rumah sakit, pembinaan dan pemantauan sanitasi tempat-tempat umum (Hotel, Terminal), tempat pengolahan makanan, tempat pengolahan pestisida dan sebagainya.

Didalam memantau pelaksanaan program kesehatan lingkungan dapat dilihat beberapa indikator kesehatan lingkungan sebagai berikut:

1. Penggunaan Air Bersih
Untuk tahun 2009 dari 134.660 KK yang diperiksa ternyata yang memiliki akses air bersih telah mencapai 94,52 % dengan perincian sbb : sumur gali + 36,08 %, sumur pompa tangan + 29,16 % ledeng + 9,06 %, PAH 0,48 % ,kemasan 2,79 % dan lainnya + 22,74 %
2. Rumah Sehat
Bagi sebagian besar masyarakat, rumah merupakan tempat berkumpul bagi semua anggota keluarga dan menghabiskan sebagian besar waktunya, sehingga kondisi kesehatan perumahan dapat berperan sebagai media penularan penyakit diantara anggota keluarga atau tetangga sekitarnya.
Sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan inspeksi sanitasi (IS) di 47 wilayah Puskesmas di Kabupaten Tangerang, dari hasil inspeksi terhadap 201.021 rumah didapat 68,38 % dinyatakan sehat.
Untuk tahun 2009, terjadi pemekaran wilayah dengan Kota Tangerang Selatan, dimana berimplikasi pada jumlah rumah yang diperiksa di 29 Kecamatan di Kabupaten Tangerang. Dari hasil inspeksi terhadap 112.257 rumah didapat rumah yang dinyatakan sehat sebanyak 74.928 (66,75 %)
3. Keluarga Dengan Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar Keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar meliputi persediaan air bersih, kepemilikan jamban keluarga, tempat sampah dan pengelolaan air limbah keluarga keseluruhan hal tersebut sangat diperlukan didalam peningkatan kesehatan lingkungan.Dari hasil inspeksi sanitasi tahun 2009 terhadap 125.414 KK yang diperiksa, ternyata yang memiliki jamban yang memenuhi syarat adalah 72.480 KK . Untuk KK yang memiliki jamban sehat sebanyak 48.875 KK (67,43 %). Untuk KK yang memiliki tempat sampah berdasarkan hasil inspeksi dari 124.414 KK yang diperiksa, KK yang memiliki tempat sampah adalah sebanyak 71.254 KK dimana yang termasuk dalam kriteria tempat sampah sehat adalah sebesar 43.781 KK (61,44 %).Untuk pengolahan air limbah,dari 125.414 KK yang diperiksa didapat 44.603 KK (65,81 %) yang memiliki pengolahan air limbah sehat.Hasil pendataan yang dilakukan oleh Petugas Sanitasi Puskesmas sampai tahun 2009 menunjukkan adanya penurunan, dapat dilihat pada grafik berikut :

Gambar III.17.

Kepemilikan sarana Sanitasi dasar dan Akses Air Bersih Kabupaten Tangerang Tahun 2009

Dari data diatas menunjukkan bahwqa tahun 2009 kepemilikan sarana sanitasi dasar, serta penggunaan dan akses air bersih di Kabupaten Tangerang terjadi penurunan dibandingkan tahun 2008, hal ini disebabkan terjadinya pemekaran wilayah di Kabupaten Tangerang dimana 10 Kecamatan menjadi Kota Tangerang

1. Tempat Pengolahan Makanan (TPM)
Upaya penyehatan makanan ditujukan untuk melindungi masyarakat dan konsumen terhadap penyakit-penyakit yang ditularkan melalui makanandan mencegah masyarakat dari keracunan makanan. Upaya tersebut meliputi orang yang menangani makanan,tempat pengolahan makanan dan proses pengolahan makanannya. Hasil pengawasan terhadap kualitas penyehatan tempat umum dan pengolahan makanan pada tahun 2009 menunjukkan hasil sebagai berikut :


Hasil Pengawasan TUPM di Kabupaten Tangerang Tahun 2009



Selain kegiatan diatas, juga dilakukan Sosialisasi Peraturan Daerah no 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) tentangTata Cara Memperoleh Sertifikasi Kursus TPM ,hak dan kewajiban TPM , sanksi yang berlaku bagi pelanggaran TPM serta perlindungan bagi masyarakat terhadap keamanan pangan. Kegiatan lainnya adalah melakukan koordinasi tentang keamanan pangan antar instansi terkait/terpadu yaitu dengan Dinas Perindustrian,Dinas Pendidikan,Departemen Agama,Dinas Ketahanan Pangan,Dinas Peternakan,Satpol PP dan PKK Kabupaten Tangerang.

Last Updated ( Friday, 29 October 2010 02:05 )

Sekretaris
Pencegahan,

Rabu, 24 November 2010

IBSAP Chapter 2. Biodiversity for the Present and Future Generations

21/11/2008

Keanekaragaman hayati adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keanekaan bentuk kehidupan di bumi, interaksi di antara berbagai makhluk hidup serta antara mereka dengan lingkungannya. Keanekaan sistem pengetahuan dan budaya masyarakat juga terkait erat dengan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, keanekaragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai dari makhluk sederhana seperti jamur dan bakteri hingga makhluk yang mampu berpikir seperti manusia; mulai dari satu tegakan pohon di pekarangan rumah hingga ribuan tegakan pohon yang membentuk suatu sistem jejaring kehidupan yang rumit di dalam sebuah hutan.

Selain tiga tingkatan keanekaragaman hayati yang telah kita kenal, yaitu ekosistem, spesies dan gen, kita harus memahami pula mengenai pusat asal-usul, pusat keanekaragaman dan pusat endemisme. Seluruh tingkat keanekaragaman hayati tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Selain itu, kegiatan manusia dan pola konsumsi juga mempengaruhi keanekaragaman hayati.

Keanekaan budaya manusia dan sistem pengetahuan juga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati. Keanekaan budaya dicerminkan oleh keanekaan bahasa, kepercayaan, sistem pengelolaan lahan dan sumber daya alam, sistem pengetahuan tradiosional, struktur sosial, pola tanam, dan lainnya, yang membantu masyarakat beradaptasi terhadap perubahan. Sistem pengetahuan dan perkembangan teknologi modern juga menyumbangkan pemahaman tentang keanekaragaman hayati serta manfaatnya, misalnya melalui proses domestikasi hewan atau tumbuhan liar yang didasari pengetahuan tentang biologi spesies tersebut.

Nilai dan makna penting keanekaragaman hayati sudah lama diketahui dan diakui, namun karena tidak selalu dapat dinilai secara moneter maka seringkali nilainya terabaikan. Nilai dan makna penting tersebut dilihat dari nilai eksistensi, nilai jasa lingkungan, nilai warisan, nilai pilihan, nilai konsumsi, nilai produksi, serta nilai global dan lokal. Nilai dan makna penting ini tidak hanya berlaku untuk generasi kini, namun juga untuk generasi mendatang. Ketidakseimbangan dalam memandang nilai keanekaragaman hayati dapat mengarah pada perusakan habitat alami, kepunahan spesies, erosi keanekaragaman hayati dan budaya, serta sistem pengetahuan yang melemah.

Bab ini menguraikan konsep-konsep penting mengenai keanekagaraman hayati dan keanekaragaman budaya secara umum serta sistem pengetahuan yang berkaitan, dan nilai serta makna penting keanekaragaman hayati bagi masyarakat dan pembangunan bangsa.

Direktorat Lingkungan Hidup

Direktorat Lingkungan Hidup

* Email
* Print
* 613

IBSAP Chapter 1. Introduction

21/11/2008

Keanekaragaman hayati merupakan seluruh keanekaan bentuk kehidupan di bumi, beserta interaksi di antara mereka dan antara mereka dengan lingkungannya. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudera (Pasifik dan Hindia), dikaruniai keanekaragaman hayati yang amat kaya dan khas. Sebagian besar pembangunan di Indonesia selama ini mengandalkan sumber daya hayati ini, yang sangat bergantung kepada keberadaan, potensi, dan kelestarian keanekaragaman hayati. Dengan demikian keanekaragaman hayati merupakan aset bagi pembangunan dan kemakmuran bangsa. Penyusunan strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati nasional bertujuan untuk memfasilitasi pelaksanaan upaya konservasi dan pemanfaatannya secara lestari sebagaimana tercantum dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Untuk mewujudkan potensi tersebut diperlukan strategi dan rencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati yang komprehensif, efektif dan partisipatif. Belajar dari pengalaman penyusunan Biodiversity Action Plan for Indonesia (BAPI) 1993 dan implementasinya serta mengingat proses desentralisasi yang saat ini tengah berlangsung, maka proses penyusunan IBSAP diupayakan sejauh mungkin menggunakan pendekatan partisipatif, bottom up dan transparan.

Dalam pelaksanaannya, pendekatan yang dipilih tidak selalu berjalan mulus karena ada berbagai kendala teknis maupun non teknis. Namun semangat partisipatif sejauh mungkin dikembangkan dalam proses penyusunan IBSAP yang berlangsung selama 2 tahun. Pendekatan dilakukan melalui berbagai macam bentuk dan cara, diantaranya melalui lokakarya regional dan nasional, community outreach, diskusi tematis, diskusi kelompok terfokus, jejaring nasional dan internasional, dan lainnya.

Bab ini berisi tentang latar belakang disusunnya dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, termasuk implementasi Biodiversity Action Plan for Indonesia 1993 yang dijadikan dasar pijakan penyusunan IBSAP, menguraikan tujuan, proses dan pendekatan serta organisasi penyusunan dokumen IBSAP.

tic tac

 
Free Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design